Kisah tentang Bung Karno (BK) memang tak pernah membosankan dan bisa datang dari siapa saja. Di antaranya dari dr. S.A.K. Soeroyo (alm.), dokter pribadi BK sejak 1966 sampai presiden pertama kita itu wafat pada 1970. Pengalamannya dituturkan oleh Ny. Soeroyo, yang juga berhasil mengamankan dokumen kesehatan dan catatan harian para suster yang merawat BK.
Selulus   dari Fakultas Kedokteran UI pada 1961, Soeroyo kena wajib militer   (wamil). Saat itu semua dokter muda laki-laki seangkatannya yang   berbadan sehat harus ikut wamil, karena bangsa Indonesia sedang   melaksanakan Trikora untuk merebut Irian Barat dari Belanda.
Setelah   menjalani pendidikan militer selama beberapa bulan, Soeroyo  digabungkan  dalam pasukan PARA, Batalyon 330 Kujang I Siliwangi di  Bandung. Ia  kembali menjalani latihan, khususnya terjun payung di  Margahayu.
Namun,   sebelum diterjunkan ke medan, Irian Barat ternyata telah berhasil   direbut. Batalyon 330 Kujang I pun batal berangkat ke sana. Soeroyo dan   teman-teman dari pasukan PARA yang lain lalu ditarik ke Direktorat   Kesehatan Angkatan Darat di Jakarta.
Bertepatan   dengan itu, Resimen Cakrabirawa (pasukan pengawal Presiden Soekarno)   mencari beberapa dokter. Mereka pun terpilih menjadi dokter pada Resimen   Cakrabirawa. Pada saat itulah Soeroyo berkenalan dengan BK.
Jangan ketahuan sakit
Selain menjaga kesehatan pasukan, para dokter juga ikut mengawal BK saat bepergian. Setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu secara bergantian mereka bersama ajudan BK pergi ke Istana Bogor dengan naik dua helikopter. Helikopter pertama ditumpangi BK, yang kedua oleh dokternya. Begitu pula bila berkunjung ke luar negeri, mereka bergantian mendampingi BK.
Selain menjaga kesehatan pasukan, para dokter juga ikut mengawal BK saat bepergian. Setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu secara bergantian mereka bersama ajudan BK pergi ke Istana Bogor dengan naik dua helikopter. Helikopter pertama ditumpangi BK, yang kedua oleh dokternya. Begitu pula bila berkunjung ke luar negeri, mereka bergantian mendampingi BK.
Ia   pernah bercerita, suatu malam ada pertunjukan wayang di Istana Bogor,   padahal ketika itu BK sedang sakit panas. Repotnya, BK harus menonton.   Dikhawatirkan, kalau sampai ketahuan sakit, dunia akan geger. Untung,   akhirnya ia kuat menonton sampai pagi tanpa terjadi apa pun.
Oktober   1965 BK berencana ke Timur Tengah, khususnya Aljazair. Pada saat itu   Soeroyo mendapat giliran mendampingi. Untuk pengamanan, bersama pasukan   Intel Cakrabirawa ia berangkat mendahului rombongan presiden, pada 29   September 1965. Namun, seperti kita ketahui, pecah peristiwa G30S/PKI   mengakibatkan BK batal berangkat.
Bagaimana   nasib dr. Soeroyo? Selama sebulan penuh sejak keberrangkatannya, tak   ada kabar dari dia. Padahal pasukan Cakrabirawa sedang diperiksa, karena   banyak anggotanya terlibat peristiwa G30S/PKI. Banyak teman Soeroyo   datang menanyakan keberadaannya. Saya hanya menjawab, “Tidak tahu,”   karena memang tidak tahu. Saya yakin Soeroyo tidak terlibat, karena ia   tidak pernah berucap tentang akan adanya tragedi itu.
Baru sebulan kemudian dia pulang. Lucunya, kartu pos dan suratnya baru berdatangan setelah pengirimnya tiba di rumah.
Ia   pun bertutur, semendarat di bandara di Aljazair, mereka tidak boleh ke   mana-mana dan ditampung di KBRI. Meski demikian mereka masih sempat   diajak jalan-jalan ke beberapa negara di Timur Tengah dan Eropa. 
Usai   peristiwa G30S/PKI, Resimen Cakrabirawa dibubarkan. Anggotanya yang   tidak terlibat peristiwa itu, termasuk Soeroyo, diperintahkan membantu   para korban banjir meluapnya Bengawan Solo.
Sekitar   September 1966, sekembali ke Jakarta dari tugas di Solo, ia mendapat   perintah menjadi dokter pribadi BK. Ada dua Surat Perintah. Yang pertama   dari BK sebagai presiden, yang satunya dari Soeharto selaku Menutama   Hankam/MenPangad. Jelaslah ia tidak dapat menolak. Sejak itu Soeroyo   menanggalkan baju hijau, berganti baju dokter, “Putih bersih!” Kami   sekeluarga pun pindah dari Jakarta ke Bogor.
Dokumen “peninggalan” suami
Pengalaman menarik terjadi saat BK ingin menghadiri pernikahan salah seorang putrinya. Ironisnya, tidak ada orang yang mau mengantar-jemput, padahal kesehatan BK telah memburuk. Karena memaksakan diri untuk hadir, BK pun pergi dengan naik mobil Soeroyo ke pernikahan itu.
Pengalaman menarik terjadi saat BK ingin menghadiri pernikahan salah seorang putrinya. Ironisnya, tidak ada orang yang mau mengantar-jemput, padahal kesehatan BK telah memburuk. Karena memaksakan diri untuk hadir, BK pun pergi dengan naik mobil Soeroyo ke pernikahan itu.
Suatu  malam Soeroyo pulang larut  malam dari Jakarta. Katanya, keadaan BK  gawat, maka harus dirawat di  RSPAD Gatot Subroto. Esoknya, ketika akan  kembali ke Jakarta, Soeroyo  berpesan, “Kalau saya tidak pulang dalam  beberapa hari, itu karena Bapak  (Bung Karno) rewel dan selalu  marah-marah. Saya harus di dekatnya.”
Benar,   selama beberapa hari ia tidak pulang. Ketika pulang, ia mengatakan,   kondisi BK makin parah, malah sudah dalam keadaan tidak sadar.   Keluarganya sudah berkumpul, termasuk Ratna Sari Dewi yang selama itu   ada di luar negeri.
Saat   esoknya Soeroyo kembali ke rumah sakit, Bung Karno sudah wafat.   Jenazahnya dibawa ke Wisma Yaso. Karena dilarang melayat ke Wisma Yaso,   Soeroyo pun pulang. Begitu mendengar BK wafat, kami merasa ada yang   hilang. Selama bertahun-tahun kami selalu memikirkan beliau yang sudah   seperti ayah sendiri.
Setelah   BK wafat, sebenarnya Soeroyo bermaksud meneruskan pendidikan, yakni   mendalami kardiologi. Sayang sekali rencananya gagal. Kendaraan yang   dikemudikannya tertubruk truk sehingga kaca depannya hancur dan mengenai   matanya, meninggalkan cedera dan kecacatan. Ia terpaksa mengundurkan   diri, karena bagian kardiologi tidak menerima calon siswa yang cacat   mata.
Soeroyo   pun mengenakan baju hijaunya lagi dan mengabdikan diri di RSPAD Gatot   Subroto sampai pensiun. Suami saya meninggal pada akhir April 1997   setelah terserang stroke.
Beberapa   bulan setelah ia meninggal, saya membersihkan rak bukunya. Tak  disangka  saya temukan dua map berisi dokumen kesehatan BK dan sembilan  buku  catatan harian para suster semasa BK dirawat di Wisma Yaso. Warna   dokumen itu sudah kuning, karena tersimpan selama 27 tahun. Mungkin   setelah BK wafat, Soeroyo tidak tahu ke mana harus menyerahkan   dokumen-dokumen itu. Ia pernah berkata, suatu saat pasti akan ada yang   mencarinya.
Dalam   dokumen itu ada catatan kesehatan BK sejak 1966, hasil-hasil   laboratorium, hasil ECG, hasil pemeriksaan gigi, mata, dll. Juga ada   sejumlah surat izin dari Panglima Siliwangi, surat permohonan Ibu   Hartini kepada Pak Harto agar BK diizinkan dirawat di Wisma Yaso. Juga   beberapa surat undangan rapat dari tim dokter BK yang dari pihak   tentara. Memang setiap minggu mereka mengadakan rapat untuk membicarakan   kesehatan BK. Hasil rapat diserahkan pada Pak Harto. Selain itu ada   tongkat komando sederhana pemberian BK bagi Soeroyo.
Dari   buku-buku catatan harian suster dapat kami baca keadaan BK. Di   antaranya tindakan medis yang diberikan, semua kegiatan BK - mulai   bangun, mandi, sampai tidur lagi -, juga para tamu yang datang, dll.   Catatan itu ditulis dari menit ke menit, jam ke jam, dan hari ke hari   oleh para suster yang menjaga dan menemani BK secara bergantian selama   kurang lebih satu setengah tahun.
Dokumen itu kami simpan saja. Pernah terpikir untuk menyerahkannya pada redaksi suatu majalah. Pasti mereka mau, karena mendapat cerita menarik. Namun, hati nurani kami menolak. Pada waktu itu Orba masih berkuasa, Pak Harto belum lengser.
Suatu hari di televisi saya melihat Ratna Sari Dewi diwawancarai para wartawan. Beliau marah-marah akan menuntut Pak Harto. Menurut dia, kalau saya tidak salah interpretasi, “Bung Karno meninggal karena diracun.”
Saya   kaget. Itu tidak betul. Saya pikir, mungkin (keluarga BK dan   pemerintah) tidak mempunyai catatan kesehatan BK, sedangkan yang di   RSPAD barangkali sudah hilang.
Kemudian   saya mendengar, polisi akan mencari dokumen kesehatan BK. “Wah gawat!”   Saya takut dokumen itu hilang kalau sampai diambil oleh pihak lain.   Jadi, saya harus menyerahkannya pada keluarga BK. Namun, ke mana?
Akhirnya ke Rachmawati
Terlintas nama Megawati (mantan presiden R.I). Beliau sangat dikenal oleh masyarakat, pasti banyak yang tahu tempat tinggalnya. Bu Mega sedang berkongres di Bali, karena itu saya membuat surat yang menceritakan keberadaan dokumen itu di tangan kami.
Terlintas nama Megawati (mantan presiden R.I). Beliau sangat dikenal oleh masyarakat, pasti banyak yang tahu tempat tinggalnya. Bu Mega sedang berkongres di Bali, karena itu saya membuat surat yang menceritakan keberadaan dokumen itu di tangan kami.
Oleh  karena saat itu tidak punya  kendaraan, saya naik kereta api sampai  Stasiun Pasar Minggu,  dilanjutkan dengan menumpang ojek. Sesampai di  rumah Ibu Megawati saya  menemui satpam. Jawaban satpam yang tidak  meyakinkan membuat saya enggan  menyerahkan surat untuk Megawati yang  sudah saya siapkan sebelumnya.  Saya kembali menemui tukang ojek yang  sabar menunggu, dan memintanya  mengantarkan ke Terminal Lebak Bulus. Di  rumah anak saya, melalui buku  telepon saya mencari nomor telepon  putra-putri BK lainnya. Sayangnya,  hanya ada nomor telepon Guntur  (Sukarnoputra). Namun, saat saya telepon  berkali-kali, jawabannya  hanya, “Tidak ada di tempat”.
Saya hampir putus asa. Untungnya, kebetulan saya membeli Majalah DR   (kini sudah tidak terbit lagi) yang memuat kisah BK. Saya menelepon   redaksinya dan menceritakan masalah saya. Beberapa hari kemudian datang   wartawan majalah itu untuk melihat dokumen-dokumen itu dan meneliti   keasliannya. Mereka berjanji akan mengantar kami ke rumah Rachmawati.
Dokumen-dokumen itu berhasil kami serahkan pada Rachmawati di rumahnya. Akhir 1998, atas seizin Rachmawati, DR memuat dokumen itu.
 
 
0 komentar:
Posting Komentar